Sampai saat ini saya masih terngiang dengan wacana Bhagavan yang dibagi oleh Bapaktut, sebuah mahavakya sederhana "Marah timbul dari rasa takut", sederhana.
Ketika berkunjung ke salah satu cabang, seorang boss mengomeli anak buahnya di depan saya di ruangannya, tujuannya "tampak" baik bagi perusahaan, namun melihat kemarahannya, entah mengapa saya lebih jelas melihat ketakutan di wajahnya daripada ketakutan yang ada di anak buah yang ia omeli.
Ia takut perusahaannya jadi begini, ia takut akan begini, begitu, jika begini jangan2 nanti begitu. Saya juga sering melihat kemarahan para penumpang bandara yang telah lelah menunggu, semua dari rasa takut. Dari takut kehilangan waktu bersama keluarga, sampai takut kehilangan rencana2 yg telah ia susun, dan itu terlihat wajar sekali, namun sebenarnya kita telah babak belur dengan apa yang terjadi di luar kontrol kita. Kita ingin "ini", padahal kemudian yang terjadi "itu".
Demikian juga kemarahan orang tua kepada saya waktu kecil, kemarahan istri, anak-anak yang semua tampak penuh cinta, namun juga kental kandungan rasa takutnya.
Dan "aahhh" begitupun dengan saya, berbagai kemarahan muncul juga karena rasa takut. Takut akan kehilangan, takut ini, takut itu, kehilangan respek, identitas, karena mengidentifikasikan diri dengan peran-peran saya.
Dalam tataran permukaan, rasa takut memang seolah menjadi emosi pelindung, yang kemudian membuat manusia bereaksi yang seolah-olah juga akan memperbaiki keadaan, namun reaksinya lebih sering tidak tepat bahkan cenderung merusak ketika sudah muncul sahabatnya yang bernama marah itu. Berbeda dengan orang2 yang "sadar", yang mampu melihat jelas awal rasa takut itu muncul di bhatinnya, sehingga rasa takutnya tak sampai berbuah rasa marah, maka reaksinya akan sama sekali berbeda, usaha perbaikannya akan sesuatu begitu efektif, konstruktif dan tak melukai dirinya sendiri dan orang lain.
Rasa takutnya yang telah ia lihat jelas itu membuatnya menyadari "Risk profile", memvariablekan potensi masalah, lalu mendapatkan mitigasinya dengan tepat dan jernih.
Dan benar, saya mencoba merenung kapan terakhir marah, ya, tertelusur dengan jelas sekali ada rasa takut di sana. Kemudian lebih dalam melihatnya, sangat jelas di sana tentang hal-hal apa yang kita takutkan akan hilang, sangat jelas tentang hayal yang kita takutkan terengut, pergi dari diri kita.
Menyadari penyebab ini secara seksama, mudah-mudahan dengan kesadaran bahwa rasa marah muncul dari rasa takut, maka kita bisa memberikan pengertian kita dan melihat dengan jelas ketika orang-orang tercinta, sahabat, atau diri sendiri diliputi dengan marah. Kita bisa mengurangi dukha-nya, dukha kita dengan baik.
Terimakasih Paktut, terimakasih Bhagavan.
Mandahasa, 7 Jan 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar