Senin, 25 Oktober 2010

BERPULANGNYA AYAH DAN PERJUANGAN IBU

Diary perjalanan, untuk mengenang Ajik dan mengingat selalu perjuangan Ibu.

25 Oktober 1993 – 25 Oktober 2009
Sebuah Cerpen Hati yang tak lekang oleh waktu.
Namaste Astu Bhagavan Vishveshvaraya Mahadevaya
Tryambakaya Tripurantakaya Trikagni Kalaya 
Kalagnirudraya Nilakanthaya Mrutyunjayaya 
Sarveshvaraya Sadashivaya Shrimanmahadevaya Namaha 

Hari ini kami akan mengalungkan bunga di fotonya untuk sekian kalinya. Kami persembahkan arathi kemudian mencakupkan tangan sbg tanda kami sll mencintainya.

25 Oktober 1993
Aku berlari kecil dari Jro Beduran, sambil memegang tamia di tangan kecilku, waktu itu bersama Dode Resta. Aku lihat sepupuku Gek Devi menangis, sbg anak kecil yg baru menginjak kelas lima SD dmn emosi masih sj mendominasi, aku pun bertanya “Ada apa Dik? Siapa yg ganggu?kok nangis?siapa yg ganggu, bilang sj.” Teman2 kecilku pun memandangku dg tatapan kosong, seolah ingin mengatakan sesuatu yang ditahan, aku masih tidak mengerti, kemudian aku melayangkan pandanganku ke Jro Betenan...lho banyak orang, masyarakat berkumpul sampai di gerbang depan.

Entah tb2 aku berpikir tentang Ajik...”Ajik, gimana skrg keadaanmu di rumah sakit, adakah berita buruk, ada apa ini, kenapa semua berkumpul?”. Aku berlari, aku teriak dg suara anak kecilku seolah mendapat firasat
“Ajik Dode gimana? Kenken Ajik?”.
Lagi-lagi aku mendapat tatapan yang kosong, aku digendong oleh seorang kerabat
“Oh, niki Dodenya, niki Dodenya (Oh, ini Dode, ini Dode)”,
aku diangkat menuju sebuah kamar...kamar itu terasa gelap,
hatiku masih bertanya “Ada apa ini?”.
Di kamar itu beberapa Niang (Nenek), dan Biang2(Bibi) berkumpul, mereka memelukku,
“Ajik....Dode, Ajik....Dode..”
aku membalas “Kenapa Ajik, kenapa Ajik, Niang, Biang Tut, Biang Man...ada apa dg Ajik? Apakah Ajik sudah sehat?”.
Aku tanya mereka satu per satu, tp setiap aku tanya dg suara kecilku justru menambah tangisan mereka, oh perasaanku sdh tidak menentu. Aku menutup mataku dg kedua tanganku sambil bilang
“Sai Ram.... Sai Ram”.

Kemudian Niang Koh pun bilang sambil memelukku erat, mencoba menguatkan diri beliau bilang ,
”Dode berdoa untuk Ajik ngih, smg Ajik sehat”.
Seolah mendapat air di gurun pasir, aku menepiskan perasaanku bahwa Ajik meninggalkan kami semua,”Baik Niang”, aku pun mulai berdoa, entah kemudian aku menangis...aku tahu doa ini tidak akan berguna lagi.

Beberapa paman tanpak bilang “Biarkan Dode nangis....jangan ditahan”. Kemudian Wide Oka datang dengan pakaian seragam SMUnya dan memelukku, kakak sepupu dalem yg paling tua itu pun bilang “Ajik akan muncul dari langit, menunggang garuda”. Aku masih ingat semuanya. Karena ucapan Wide, aku pun mulai mengerti...mungkin Ajik telah pergi walaupun jujur, aku masih bimbang.

Karena kebersamaan di sebuah desa masih begitu kuat, rasanya rumah kami waktu itu begitu sesak, oleh keluarga besar, masyarakat yg aku tidak mengerti mengapa berjejalan di halaman rumah. Akhirnya suara sirene ambulan datang, tangis semakin membuat aku bingung, keluarga semuanya berlari keluar, aku ditinggal tak mengerti apa2, aku coba menyibak kerumunan orang di luar kamarku dengan tangan kecilku seperti menyibak kerumunan orang di sebuah konser.Tidak ada yang memperhatikanku, smuanya seolah ingin berebut mencari sesuatu.

Aku terus teriak diantara tangisan, seolah mengerti bahwa Ajik telah datang,
aku teriak ”Dode ingin lihat Ajik, Dode ingin lihat Ajik”,
aku tenggelam dg tubuh pendekku diantara tubuh orang dewasa, astungkara, seorang yg tidak aku ingat siapa, bersedia mengangkatku dipanggulnya sambil bilang
“Oh Dode, mriki mriki (Oh Dode kesini-sini)”.
Maka aku dengan jelas melihat rombongan keluargaku keluar dari kori tengah.

Yang pertama, pamanku Ajimang Juanda, beliau kelihatan berjalan sempoyongan, sungguh seperti orang mabuk, habis itu Ajitu Sastra yang terlihat begitu sedih dan beberapa kerabat, dan terakhir...tentu saja Ajik, namun wajah Ajik tak terlihat, sekujur tubuh Ajik sudah diselimuti kain batik, dipanggul oleh empat orang, jalannya cepat menuju Bale Gede. Beberapa anggota keluarga memang tidak terima, ada yang teriak, dan maaf memukul tembok, suasana waktu itu, smg tiada seorangpun di dunia ini yang mengalaminya. Apapun yang terjadi Ajik telah pergi, beliau tak akan kembali.

Entah air mataku berhenti, “Svami, Ajik pergi...Sai Ram, Ajik telah pergi, kuatkan aku...”, aku terus berjapa seperti yang diajarkan guru-guru rohaniku/Balvikasku di Veteran, Sairam...Sairam, aku terus menyebut nama Tuhan. Aku memandang jenasah Ajik yang diangkat menuju Bale Gede, kemudian paman yang mengangkatku tadi mau pergi menuju bale gede juga, tapi aku teriak
“Dode ingin ketemu Ibu, mana Ibu...mana Ibu, mana Ibu!”.

Yang memanggulku pun mencari, dibantu oleh beberapa paman, sambil bertanya tanya, dan kami berhasil, aku turun. Aku bengong mematung, Aku lihat Ibu tergolek lemas duduk memeluk Adek, wajahnya kelihatan sangat kusut, ini pertama kali aku melihat Ibu berwajah demikian, adikku yg masih kecil, membenamkan wajahnya di pelukan Ibu. Tanpa pikir panjang, aku memeluk Ibu yang sedang dipijit oleh beberapa semeton (saudara), “Ibu...ibu”, Ibu tak mengacuhkanku, tatapannya kosong, wajahnya kusut, Ibu begitu sangat sangat terpukul, Ibu seolah tidak merasakan pelukanku, Ibu seolah lupa mempunyai aku, Ibu seolah tidak merasakan betapa aku rindu beliau karena sudah beliau tinggalkan beberapa hari di rumah sakit melayani Ajik. Dan sebuah episode baru yang teramat berat akan kami lalui...bertiga, hanya bertiga. Seorang Ibu muda, anak kecil ingusan dan seorang balita. Sesaat setelah itu, tepat ditanggal itu, Ibu menyatakan janjinya yang selalu kami kenang,

”Tiang (saya) tidak akan menikah lagi, tiang akan membesarkan kedua anak ini sendirian”.

Sebuah ucapan dari seorang Pativrata.....yang sampai sekarang masih teguh dijalankan, dan beliau telah sukses dengan pengertian sesungguhnya.

============ (bersambung)...

Ayah

Kutatap wajah lembutmu Ayah..di antara tangis pilu keluarga
Tersirat apa yang telah kini terjadi
kutahu dirimu kini berkata dalam bisu "Selamat tinggal.."

Keluarga dirajut mendung.. satu nafas telah gugur
Kucoba jabat tanganmu
namun kutahu semua telah berakhir
tapi kutak rela lepaskanmu
dan mulut kecilku hanya diam membisu

Kusujud di kakimu sambil berkata
"Bangunlah Ayah..."
"Kurindu pimpinanmu,
kecupan pagimu dan berkata , "Sembahyang yuk"

"Ayah ... betapa berat beban karma ini"
"Ayah bangunlah, lihatlah lautan manusia ini, begitu banyak yang mencintaimu..."
Tapi thirta yang mengalir menyucikan tubuhmu
menyentakkanku bahwa kini semuanya tiada

Samar wajah kami dirundung duka..mendung dan gelap
langkah begitu berat menuju perabuanmu...
titik hujan menerpa seakan langit pun menangisi nasib kami
namun garis wajahmu tetap lembut tercipta mengucap "Selamat tinggal.."

Satu orang Ibu dengan sumpah brahmana karena kepergianmu...
Seorang anak kecil nakal ingusan dan satu bayi cantik yang baru belajar berjalan..
mencoba tabah untuk menggenggam api suci bersama...
mengembalikanmu kembali ke cahaya
"Ayah.. ini api cinta kami..., selamat tinggal"

Meski gontai langkah ini
Meski hancurnya hati
Meski beratnya beban ini
Cinta tak akan usai..Ayah
Kutahu kutak sendiri... bimbinganmu akan selalu ada

Ayah, selamat tinggal...
bawalah selalu cinta kami, jemputlah impianmu..
Moksa...

"Dibuat di Batam, Oktober 2008,
15 tahun Samadhi, Ida I Aji kami, Ida I Dewa Made Umbara S.,
25 Okt 1993, pukul 11.40"

Saya rasa semua kitab suci mengagungkan orang tua. Veda menyatakan kedudukan orang tua dengan kata-kata “Mathru Devo Bhavo, Pithru Devo Bhavo” (Orang Tua/Ayah dan Ibu adalah perwujudan Tuhan), dharma kepada orang tua adalah yang utama, karena waktu di dunia tidaklah abadi, maka setiap waktu bertemu adakah waktu yang utama.

Oh Sahabat, ijinkan sy berbagi nasehat dg rendah hati, mari kita ingat selalu bahwa waktu di dunia bukanlah kita yang mengatur, smg kita semua mampu menjalankan kewajiban kita, pelayanan kita dg sempurna kepada orang tua kita.

Saya membungkuk dan mencakupkan tangan untuk semua Ibu yang berani memilih menjadi seorang “Ardhanaresvari”, peranan ayah dan ibu sekaligus bagi anak-anaknya dalam satu tubuh, 16 tahun sudah, dan Ibu melalui kasihnya telah menghadirkan seorang ayah bagi kami. Kami akan meneruskan kepemimpinannya.

Dengan penuh cinta,
Dode Yoga
Gek Yanti
Putra pertama dan kedua (Umbara Suta)
dari Ajik (almarhum) Ida I Dewa Made Umbara S.
dan Ibu Dra.Desak Ketut Triari Umbara, MM

Kamis, 02 September 2010

SAYA DAN NASIONALISME MASA MUDA

# Saya mengingat pengalaman ini ketika berbagai berita protes terhadap negeri-negeri tetangga. yang konon melanggar kedaulatan negara. Saya menghormati setiap rasa, emosi dari teman-teman, namun tentu boleh berbeda dalam menyikapinya, saya merasa dalam tataran politik tentu ada "kerenggangan" itu, tapi dalam tataran bermasyarakat, warga berhak selalu bersahabat dengan sahabatnya walau ia warga "asing". 



Saya dan Nasionalisme Kecil-kecilan Saya
(Diary Sederhana Masa Muda)

Beberapa tahun lalu, di perusahaan saya yang dulu, saya dipercaya mewakili perusahaan untuk meeting di suatu perusahaan di negara tetangga, untuk mengecek sistem yang akan dibeli oleh perusahaan saya.  Saya berangkat sengaja mengambil fery yang paling pagi dari Batam, walaupun meeting diagendakan jam 10 pagi LT (local Time), ini hanya untuk menghindari antrean di keimigrasian dan biasanya jeda waktu saya gunakan dulu untuk singgah ke cabang perusahaan di negeri tetangga, kemudian mengobrol ria dengan kolega di negara tersebut, keliling area perusahaan, sekedar membaca koran lokal di sana dan membaca majalah dinding perusahaan yang biasanya penuh ide-ide pengembangan produktivitas, ini kali sekian saya ke negara ini, negara yang bebas macet, bersih dengan udara yang sangat sejuk.

Tiba di pelabuhan negara tersebut, seperti biasa kita antre di keimigrasian, terlihat beberapa orang Indonesia masuk ke ruang imigrasi khusus, mungkin ada masalah pikir saya, memang terkenal keimigrasian negara ini ketat. Setelah paspor saya distempel, saya melangkah dan kemudian memasukkan bawaan sederhana saya berupa laptop, dokumen dan kamera di x-ray dan ...upss dimulailah episode ini.

Seorang berpakaian preman dan gagah bilang ke saya agar membuka barang bawaan saya, saya menatapnya kemudian berkata “Maaf, Anda siapa?”, ia menatap saya tajam “ Police!” dengan mengibaskan jaket hitamnya, dan terlihatlah senjata yang menggantung di ketiaknya, wow ulah seperti ini sudah saya dapatkan selama hampir 3,5 tahun di almamater saya dulu, saya menatapnya dengan baik. Tapi sepertinya ego kepemudaannya masih menguasai “Anda tidak percaya saya Polisi?” kemudian ia memperlihatkan dompetnya yang ada lencana Polisi. Oke, saya nurut, ternyata preman police ini tahu etika pemeriksaan, ia meminta saya sendiri membuka setiap kantong tas. Ternyata tidak sampai di sana, ia meminta saya untuk ke ruangannya, wah mulai deh “Super Saiya” saya terasa menyelimuti hati, saya sempat berpikir mengapa saya yang tidak bawa barang terlarang dibawa ke ruangan Polisi? merasa terganggu dan dicari-cari kesalahannya, saya mulai berkata tegas,
“Kenapa Anda ingin membawa saya, Pak?”

“Kami ingin memeriksa Anda, apakah Anda adalah pecandu narkoba atau tidak?”
(ia menggunakan kata You, tidak sekali pun mengakhiri kalimat dengan Sir, mata muda saya menangkap ini sebagai ketimpangan “sor singgih” (tingkat bahasa), padahal itu hal yang lumrah, sangat lumrah (tidak ada tingkat bahasa). Waktu itu memang kebahagiaan di hati ini masih tergantung hal-hal eksternal (luar), seperti peristiwa ini.

Saya larut dalam ego, udara segar negara ini mulai terkontaminasi dengan tatapan mata mereka, ego mulai berpura-pura menjadi diri saya dengan mengatakan “Kamu dilecehkan, lihat tatapannya, kamu bisa menelp kolega2 kamu skrg, dan bilang ada polisi aneh yang menangkapmu!”. Sang ego mulai berkata “Mana mungkin badut ancol gemuk seperti kamu dikira pecandu narkoba, mereka itu mengada-ada! Dia menangkapmu krn kamu Indonesia, kamu dipandang lebih rendah dari warga lain, inget Bung Yoga kakekmu semuanya pejuang, kamu lahir dari keluarga pejuang, kamu dilecehkan!”. Si ego memang ahli mengidentifikasikan sesuatu menjadi diri kita.

Dan saya mengambil HP saya dimana di area ini memang tidak diperkenankan untuk menelp, dan tentu saja Polisi Berjins biru ini mulai emosi “Hei, don’t use mobile phone, don’t use mobile phone”.
Saya mengatakan dengan Sing-lish sy “Oke, don’t be mad, i have some important meeting today , so i must call my colleague first to delay my meeting, and than i will follow you to ur office, but please tell me WHY ONLY ME!” saya menaikkan nada bicara saya.

Ternyata mereka mulai berpikir ketidak adilan ini (mungkin), sambil bibirnya komat kamit mirip pantat ayam menceramahi saya bahwa di area keimigrasian very strict (!) tdk boleh menggunakan HP dan camera! Mereka kemudian mengambil 2 orang lagi yang saya lihat dari wajahnya adalah dari negara yang sama dengan saya, Indonesia, tampak orang-orang ini begitu kikuk karena tanpa babibu mereka disuruh ikut ke kantor si Rambo berkulit putih bukan karena panu ini. Mereka mengatakan “We take random samples”. Oh hal ini tidak membuat saya tambah lembut, RANDOM? RANDOM PALA LU GORILA! Ego saya berulah lagi, mereka bilang random tetapi hanya memeriksa orang Indonesia, orang yang kulitnya lebih putih dari saya, rambutnya lebih keriting, lebih lurus dan kuning dari saya dibiarkan lenggang Mbok Jamu!

Saya lebih tegas dalam berkata “OKE U SAID RANDOM, WHY ONLY INDONESIAN PEOPLE??, WE ARE NOT STOWAWAYS!” rupanya mereka mulai sadar bahwa saya ini adalah orang yang keras terlihat dari wajah saya yang keras mirip adonan aspal salah campur ini. Saya jelaskan dengan menatap matanya “I tell you-aaa (ini dialek singlish ada aaa), please take note-aaaa (ini kata yang artinya, Hei, sy kasi tahu kamu yaaa, catat yaaa!!!)in MY BIG COUNTRY (tentu negara saya lebih besar dan luas dibanding  negaranya yang hanya sebesar pulau), if any inspected by our policement in airport or harbour, they check all passengers not randomly!”.

Teman Indonesia yang ikut ditangkap dengan saya terlihat keluar keringat, ia berbisik “Saya bisa telat”, dan orang-orang mulai melihat saya yang mengacungkan jari telunjuk (bukan jari tengah ya) ke arah polisi ini. Temannya Polisi galak itu yang semula diam, kemudian mengambil orang asing satu lagi, tentunya dengan komunikasi yang alot. Nah, karena yang “ditangkap” bukan saja saya dan tidak hanya orang Indonesia, tentu giliran saya yang manut apa kata mereka, jadi ada 4 orang yang dicek, 3 orang Indonesia dan 1 orang asing.

Ternyata memang benar, saya dibawa ke ruangan kecil. Mulai terlintas di benak saya, kalau sampai mereka mengada-ada, dan menyatakan saya bersalah (seperti di film-film action), saya akan blow up masalah ini di media, saya tdk merasa bersalah, dokumen saya lengkap, surat dari perusahaan juga ada, dan yang terpenting saya bukan pecandu obat-obatan. Saya mulai menghitung beberapa teman yg juga akan sy kompori untuk membela sy jika ada sedikit pelecehan dan kata-kata kasar. Saya duduk di ruangan kecil itu, dengan pencahayaan yang kurang baik (mungkin lagi hemat energi), saya ditanya oleh wanita yang jaga,
“Thank you for your time Sir, we would like to check your urine to confirm whether you are person who is addicted drugs or not”.
Oh lumayan mereka memakai kata Sir dan would like, pikir sy, sy diberikan botol, kemudian diminta pipis, pipis pun diantar oleh polisi galak tadi dan pintu toilet tidak boleh ditutup. Wow apakah polisi yang mengantar saya ini seorang gay? shg ia rela mengantar saya ke toilet dan menunggu saya pipis, jangan2 dia meminta saya menggoyang pantat saya? Oh ternyata ini bertujuan agar tidak ada orang yang menukar urinenya untuk diperiksa, dia hanya berdiri di pintu, tentu tidak mengintip, kesucian saya terjaga. Singkat kata kami kembali membawa urine untuk dipersembahkan kepada polisi asing itu untuk diminum (ya nggak lah), selama proses lab, saya duduk di depan tiga orang Polisi, satunya adalah yang paling galak saat razia tadi. Selama menunggu hasil, saya memilih memejamkan mata, menarik nafas dengan baik, karena rasa marah ini masih ada, saya ingin diliputi kedamaian dan memutuskan untuk selaras dengan saat ini, ya saya harus menerima dan bisa menikmati ‘saat ini’.

Rupanya sikap saya ini menarik perhatian mereka, setelah semenit memejamkan mata, saya buka buku dan membaca meeting point yang akan saya bahas nanti. Mereka mulai bertanya,
“Tahukah Bapak tempat mana yang tidak ada pecandu narkobanya di dunia ini?”
“Tentu ada”, saya mulai lembut.
Mereka tertawa, mereka bilang “Haha, sekarang semua tempat pasti ada pecandu narkobanya, hahaha”.

Dasar geblek, mereka pasti belum pernah ke kandang BABI mendiang Nenek saya rupanya. Tentu BABI-BABI itu tdk pecandu narkoba dan kandang BABI itu adalah tempat yang bebas dari narkoba. Itu contoh kecil dari berjuta tempat yang bebas narkoba.
Saya bilang “I am from Bali, my dear grandma has one pigsty, and you can check her pigs’s urine whether they are junkies or not, the pigsty is a place that clear from junkie”. Kami mulai tertawa... saya melanjutkan “There is some place that no junkie, no bad habit, only happiness and peace, in here”. Saya memegang dada saya dan dengan seluruh jari saya menunjuk dada mereka (kecuali yang polisi wanita) .”If we can see inside and from inside, we know, love is our form”. Mereka tersenyum, mungkin mereka berpikir dalam hati mereka “Aembeh... badut beruang kutub, bilangnya love is our form-love is our form, kenapa tadi galak saat mau diperiksa? dasar calo spiritual lu, ngomong beda sama tingkah laku!”.

Mulailah encer komunikasi kami, kami mulai tertawa bersama, hasil mulai dibagikan berupa print mirip struk kasir, dan kami menandatangani suatu form dan di samping kiri saya beberapa polisi memborgol orang asing yang “terjerat” bersama kami, sedang 3 orang Indonesia bebas narkoba, Polisi galak itu mengatakan urine orang (bapak yang tertangkap) itu positif mengandung narkoba. Saya mulai bercanda “Wah Anda hebat bisa tahu, apakah kalian mencicipinya?” dan pertanyaan saya ini dibalas oleh polisi galak ini dengan tawa sambil menunjukkan gelang Om Kar-nya, saya terkejut ia memakai Om Kara Bali,
dia bilang “Anda dari Bali, ini saya dapat ini di Bali, Anda seorang yang keras, maaf atas ketidaknyamanan selama pemeriksaan, terimakasih sdh mengisi data kami”.
Saya bilang “Ah don’t mention it, saya keras karena tadi tersinggung, saya kira Anda mengecek hanya orang-orang Indonesia”,
mereka bilang “Oh tidak, justru  karena Anda tersinggung (pique) saya dapat seorang junkie”,
saya pun sportif  ”Saya juga minta maaf”,
dia bilang “Untuk apa?”
Saya bilang “Saya telah salah sangka tentang Anda”.
Dia menjawab dengan hangat “Oh ya, never mind, saya tidak pakai uniform, tidak apa-apa Anda menyangka saya bukan polisi”,
saya menjawab ”Bukan itu”,
“So?” kata Polisi galak yang sdh jinak ini.

Saya melanjutkan“Saya minta maaf karena dalam hati, saya telah menyangka Anda gay ketika Anda ikut ke toilet bersama saya tadi”.

Dan saya percaya semua orang, di semua negara, apapun kulitnya, ada kasih di dalam hatinya.
===========================================================================
Diary ini saya persembahkan :
-Untuk sahabat-sahabat mudaku yang selalu bangga dengan ke-Indonesia-an-nya, sll mengembangkan diri, merasa berdiri sama tegak dengan negara lain dan tidak gentar terhadap persaingan internasional.

-Untuk Indonesia.
===========================================================================
Unity is Divinity,
Dewa Vayogayana